Krisna Pratama: Lima Desember

6 Desember 2005

“Ayo, pulang. Udah mau hujan, nanti kita kehujanan.” Nyokap merangkul pundak gue sambil tersenyum.

“Tapi Ibu kasian sendirian disini.” Air mata pun kembali jatuh di pipi gue.

Orang-orang yang tadinya berkumpul di makam Ibu perlahan mulai mengurai. Terlihat beberapa anak kecil yang bekerja sebagai pembersih makam sedang bernegosiasi dengan pelayat. Pedagang kembang mulai membereskan dagangannya bersiap untuk pulang. Dan awan semakin menghitam.

Dalam perjalanan pulang, bokap berusaha menghibur, “Udah ya, jangan sedih lagi. Sekarang kita makan dulu, sebelum pulang.”

“Mau makan dimana, kita?” Sambung nyokap.

Gue ga bergeming. Perlahan, komplek pemakaman mulai hilang dari pandangan mata.

Satu hari sebelumnya

“Halo…”

“Kamu pulang sekarang, ya.” Nyokap nangis-nangis di seberang telepon.

“Kenapa, Ma? Mama kenapa?” Gue bertanya panik.

“Ibu meninggal.”

Mendengarnya, seperti terhunus pedang tepat di dada kiri. Suasana hati tak menentu. Seluruh kenangan saat bersama beliau satu per satu muncul di kepala. Saat ini, gue merasa hancur. Hancur sehancur-hancurnya.

Selama perjalanan menuju rumah, muncul puluhan kenangan saat bersama Ibu yang silih berganti kembali hadir di ingatan gue.

Tadi pagi adalah terakhir kalinya gue melihat senyumnya yang indah. Tadi pagi adalah terakhir kalinya gue mencium tangannya. Tadi pagi adalah terakhir kalinya beliau mengantar gue sampai pintu gerbang.

Gue merasa kerdil. Gue merasa sampah. Gue merasa bukan yang terbaik untuk menjadi cucunya.

Mengapa ini terlalu cepat untuk terjadi ketika gue belum bisa membuatnya bangga dan bahagia. Mengapa ini terlalu cepat untuk terjadi ketika gue masih bermimpi untuk membuatnya bangga dan bahagia. Sekali lagi… ini terlalu cepat.

Semakin remuk, semakin hancur.

Di rumah, nyokap bercerita…

“Tadi siang, Ibu marah-marah ke Mama. Ibu ngotot mau ke Cempaka Putih.” Nyokap ngambil tissue di meja kemudian menyeka air matanya. “Mama sampai dibentak-bentak” sambung Nyokap.

“Iya, Ibu boleh ke Cempaka Putih, tapi kalau Ibu udah sehat, ya.” Kata nyokap gue ke Ibu.

“Ga mau! Pokoknya, Ibu mau ke Cempaka Putih sekarang juga!” Ibu bersikeras mau pergi sambil masukin baju ke tas.

Nyokap ga bisa nahan kemauan Ibu untuk pergi. Kemudian, nyokap nelepon bokap untuk minta solusi. Atas saran dari bokap, nyokap gue menelepon kakaknya Ibu untuk jemput di rumah.

“Ya udah. Ibu tunggu sebentar, ya. Nanti ada yang jemput kesini. Ibu tiduran aja dulu.” Nyokap berusaha merayu Ibu agar mau beristirahat dulu.

Situasi kembali tenang. Setidaknya untuk sementara.

Satu jam kemudian, kakaknya Ibu tiba di rumah. Tanpa berlama-lama, mereka berdua berangkat menuju Cempaka Putih.

Sesaat kemudian. Nyokap dapet kabar dari keluarga di Cempaka Putih, Ibu meninggal dunia beberapa menit setelah tiba di sana.

Ibu ga mau merepotkan keluarga gue kalo meninggal di sini. Atau Ibu mau menyempatkan berkumpul untuk terakhir kalinya dengan seluruh kakak dan adiknya yang memang kebetulan tinggal berdekatan di sana. Entahlah, yang pasti kami semua merasa sangat kehilangan.

5 Desember 2012

Ibu apa kabar? Semoga baik-baik aja, ya. Papa, Mama, Krisna dan Ezy juga baik di sini. Ga kerasa udah tujuh tahun kita ga ketemu. Kita semua di sini kangen banget sama Ibu. Kangen masakan Ibu, kangen omelan Ibu dan kangen minum Sprite bareng lagi. Oya, ngomong-ngomong soal Sprite, di sana ada yang jual ga, Bu? Harganya berapa, mahal ga?

Bu… Ibu inget ga waktu kita belanja buat keperluan warung di pasar Tambun? Kita keliling pasar sambil bawa belanjaan yang seabrek. Mana waktu itu ujan, akhirnya pulang dengan becek-becekan. Walaupun capek, tapi Krisna tetap senang. Untungnya Ibu mijitin Krisna waktu mau tidur, jadi pegel-pegelnya hilang. Terus, upah buat Krisna karena mau nganterin Ibu belanja masih ada sampai sekarang. Ibu inget ga, waktu itu ngasih apa? Ayo tebak! Iya betul, jersey Barcelona.

Komputer yang dibeliin sama Ibu juga masih ada sampai sekarang. Cuma, semenjak ada laptop, komputernya jadi jarang dipake. Komputer itu tempat belajar grafis dan audio. Sampai kapanpun komputer itu bakal tetap ada karena nilai sejarahnya yang luar biasa. Selain bersejarah, satu alasan kenapa komputer itu ga bakal dijual adalah : harganya udah jatuh banget. Waktu itu sempet mau dijual dan ganti yang baru, tapi cuma dihargain enam ratus ribu. Kalo handphone yang dari Ibu, udah dijual dari tahun kapan karena ganti yang baru. Hehehe.

Bu… Ibu inget ga, ditanggal yang sama, tujuh tahun lalu. Krisna nangis ga berenti-berenti. Krisna nangis karena sedih ditinggalin sama Ibu. Saat itu, Krisna belum bisa ngebahagiain Ibu. Krisna belum bisa bikin Ibu bangga. Dan yang bikin Krisna paling sedih adalah, kenapa Ibu pergi satu hari sebelum Krisna ulang tahun.

Beberapa jam lagi, Krisna ulang tahun. Ibu doain Krisna ya biar bisa ngebahagian Papa & Mama, keluarga, dan semua orang.

Bu… Maaf, ya. Krisna nulis ini sambil nangis. Krisna jadi sedih lagi. Tapi setelah ini di post, Krisna janji ga nangis lagi, kok.

Udah dulu ya, Bu. Ibu bales dong surat dari Krisna. Nanti pagi ditunggu di bawah bantal ya suratnya. Ibu jaga kesehatan ya disana. Dan yang Ibu harus tau, kita semua yang di sini juga selalu ngedoain Ibu.

Oya, ada info terbaru nih Bu yang lagi heboh :