Sudah lama tak menulis.
Entah mengapa, tetiba aku kembali merindu untuk menulis. Mungkin karena hujan yang turun pada petang di tanggal tua ini. Apapun alasannya, aku rindu mendengar deru keyboard laptop ini saling bersahutan merangkai huruf demi huruf, kata demi kata, juga kalimat demi kalimat.
Lama tak bersuara dalam tulisan, membuat jemari ini terasa kaku. Ya, kaku, seperti bertemu mantan pacar di acara pesta kebun seorang sahabat. Terbata ketika menyapa, serba salah seperti lagu Raisa.
Sembari jemari ini bergeliat menyisir alphabet yang tertata rapih namun berantakan, terdengar lantunan musik dari Gugun & The Blues Shelter. Ah, sayangnya aku tak tau apa judul lagunya. Yang pasti, suasana ini menjadi hangat seiring bergulirnya bulir hujan yang masih turun dengan bergerombol.
Memasuki paragraf ke-empat, hujan semakin deras. Di ujung jalan, terlihat pedagang bakso yang mulai menepi tak berani melanjutkan perjalanan. Tepat di seberang kedai es krim ini, warung Mie Aceh dipadati oleh tamu.
Suasana kedai ini cukup ramai. Ramai oleh kesibukan manusia-manusia super sibuk ala kota metropolitan dengan gadget masing-masing walau mereka datang secara berkelompok. Sudahlah, tak usah heran dengan fenomena seperti ini. Musik terus berputar, kali ini Love Song dari 311.
Layar monitor ini masih terus kutatap. Wajahnya sedikit kemerahan menahan malu, katanya.
Sementara di hadapanku, istriku sedang asik menggambar. Dengan kertas HVS ukuran 80gsm dan pulpen berwarna hitam berharga murah yang baru saja kubeli di Indomaret sebelah. Ia tampak menikmati aktifitasnya petang ini. Melihatnya, aku senang.
By the way, sekarang sudah masuk weekend. Seperti yang lalu-lalu, tak ada yang istimewa pada akhir pekan kali ini. Semua hadir dan berlalu tanpa kesan, apalagi pesan.
Tiga puluh delapan menit sudah kami berdua disini, menunggu seorang sahabat yang tak kunjung datang. Mungkin ia sedang terjebak hujan, atau mungkin terjebak masa lalu. Entahlah. Yang pasti, kini semuanya sulit untuk ditebak, kecuali pertanyaan dari Desta dalam program Tonight Show.
Seraya melanjutkan kalimat, kupalingkan sejenak pandangan ke arah cangkir putih berisi hot coffee milik istriku. Isinya mulai berkurang, sedikit demi sedikit. Busanya masih menempel pada dinding bagian dalam cangkir itu, warnanya coklat agak kehitaman. Enggan hilang, masih ingin berada disana lebih lama.
Karena wangi tanah yang menguap ketika hujan turun adalah salah satu surga dunia, setidaknya bagiku. Sama seperti wangi sprei yang baru diganti.
Hujan belum juga mereda. Pengunjung kedai es krim ini mulai gelsah. Kecemasan terpancar dari wajah mereka yang letih. Seperti ingin bergegas, namun tak bisa. Seperti ingin menunggu, namun sudah tak sabar.
Seperti aku, yang mulai tak sabar untuk posting tulisan ini.
No comments:
Post a Comment